2. Kajian pasal 33 UUD
Bunyi pasal 33 UUD 1945 sebagai berikut .
1. Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas
azas kekeluargaan.
2. Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang
menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara.
3. Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya
dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
4. Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas
demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan,
berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga
keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
5. Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini
diatur dalam undang-undang.
Demikian pasal 33 ayat (1), (2), (3), (4), dan (5)
Undang-undang Dasar 1945.
Penjelasan pasal 33 menyebutkan bahwa “dalam pasal 33
tercantum dasar demokrasi ekonomi, produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua
dibawah pimpinan atau penilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran
masyarakat-lah yang diutamakan, bukan kemakmuran orang seorang”. Selanjutnya
dikatakan bahwa “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung dalam bumi adalah
pokok-pokok kemakmuran rakyat. Sebab itu harus dikuasai oleh Negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
Sehingga, sebenarnya secara tegas Pasal 33 UUD 1945 beserta
penjelasannya, melarang adanya penguasaan sumber daya alam ditangan
orang-seorang. Dengan kata lain monopoli, oligopoli maupun praktek kartel dalam
bidang pengelolaan sumber dayya alam adalah bertentangan dengan prinsip pasal
33.
Masalahnya ternyata sekarang sistem ekonomi yang diterapkan
bersikap mendua. Karena ternyata hak menguasai oleh negara itu menjadi dapat
didelegasikan kesektor-sektor swasta besar atau Badan Usaha Milik Negara buatan
pemerintah sendiri, tanpa konsultasi apalagi sepersetujuan rakyat. “Mendua”
karena dengan pendelegasian ini, peran swasta di dalam pengelolaan sumberdaya
alam yang bersemangat sosialis ini menjadi demikian besar, dimana akumulasi
modal dan kekayaan terjadi pada perusahaan-perusahaan swasta yang mendapat hak
mengelola sumberdaya alam ini.
Sedangkan pengertian “untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”
menjadi sempit yaitu hanya dalam bentuk pajak dan royalti yang ditarik oleh
pemerintah, dengan asumsi bahwa pendapatan negara dari pajak dan royalti ini
akan digunakan untuk sebasar-besar kemakmuran rakyat. Keterlibatan rakyat dalam
kegiatan mengelola sumberdaya hanya dalam bentuk penyerapan tenaga kerja oleh
pihak pengelolaan sumberdaya alam tidak menjadi prioritas utama dalam kebijakan
pengelolaan sumberdaya alam di Indonesia.
Sehingga akhirnya sumber daya alam dan kenikmatan yang
didapat hanya dikuasai oleh sekelompok orang saja. Maka ada erosi makna pasal
33 yang seyogyanya diberikan untuk kepentingan orang banyak. Contoh nyata dalam
pemberian Hak Pengusahaan Hutan (HPH) oleh Menteri Kehutanan pada 579 konsesi
HPH di Indonesia yang didominasi hanya oleh 25 orang pengusaha kelas atas.
Masyarakat lokal yang masih menggantungkan hidupnya pada sumberdaya hutan dan
ari generasi ke generasi telah berdagang kayu, harus diputuskan dari ekonomi
kayu. Karena monopoli kegiatan pemanfaatan hutan dan perdagangan kayu pun
diberikan kepada para pemegang Hak Pemilikan Hutan (HPH) ini. Monopoli kegiatan
pemanfaatan ini malah disahkan melalui seperangkat peraturan, mulai dari UU
Pokok Kehutanan No. 5 tahun 1957 sampai peraturan pelaksanaannya yang membekukan
hak rakyat untuk turut mengelola hutan. Seperti pembekuan Hak Pemungutan Hasil
Hutan (HPHH) bagi masyarakat lokal hanya melalui teleks Menteri Dalam Negeri
kepada Gubernur
Begitu pula dalam bidang pertambangan Migas (Minyak dan Gas
Bumi) dan Pertambangan Umum. Untuk kontrak bagi hasil dalam kuasa Pertambangan
Migas, Pertamina (Perusahaan Minyak Negara) memang pemegang tunggal kuasa
pertambangan Migas, tetapi kontrak bagi hasil dari eksploitasi sampai
pemasarannya diberikan ke perusahaan-perusahaan besar. Sedangkan dibidang
pertambangan umum, rakyat penambang emas di Kalimantan Tengah dan Barat
misalnya (Pemerintah mengistilahkan mereka sebagai PETI=Pengusaha Tambang Tanpa
Ijin), harus tergusur untuk memberikan tempat bagi penambang besar. Dengan
logika yang sama seperti di sektor kehutanan, penambang emas rakyat dianggap
tidak mempunyai teknologi dan manajemen yang baik, sehingga ‘layak’ digusur
hanya dengan dalih tidak mempunyai ijin. Sedangkan penambang emas besar
dianggap akan memberikan manfaat besar karena kemampuan teknologi dan manajemen
mereka. Rakyat pendulang emas tidak mendapat tempat sama sekali dalam kebijakan
pengelolaan pertambangan di Indonesia, dan kehidupan mereka semakin buruk.
Praktek monopoli sumberdaya alam ternyata telah merambah
kesektor pariwisata. Tempat-tempat yang menjadi tujuan wisata tidak bebas lagi
menuju kepantai. Praktik ini banyak terlihat di tempat-tempat wisata baru di
Indonesia, seperti di Anyer-Jawa Barat dan Senggigi-NTB.
Sementara penghasilan negara dari sektor pengelolaan
sumberdaya alam ini tidaklah langsung ‘menetas’ pada masyarakat lokal di
sekitar sumberdaya alam itu sendiri (seperti yang diagungkan oleh pendekatan
trickle down effect), melainkan lebih banyak ke kantong para pengusahanya dan
ke pusat pemerintahannya. Tingkat korupsi yang tinggi, lemahnya pengawasan,
kurangnya transparansi serta akuntabilitas pemerintah menyebabkan upaya untuk
meningkatkan kemakmuran rakyat sebesar-besarnya dari sektor pengelolaan
sumberdaya alam menjadi kabur dalam praktiknya.
Ternyata kita menerapkan Pasal 33 dengan “malu-malu kucing”.
Jiwa sosialisme ini yang memberikan hak monopoli kepada Negara, dilaksanakan
melalui pemberian peran yang sangat besar kepada swasta, dan meniadakan
keterlibatan rakyat banyak dalam pelaksanaannya. Ini adalah sistem ekonomi
pasar tetapi dengan mendelegasikan hak monopoli negara ke swasta. Sehingga
dapat dikatakan bahwa pengelolaan sumberdaya alam di Indonesia mengambil jiwa
sosialisme yang paling jelek yaitu penguasaan dan monopoli negara, serta menerapkan
dengan cara otoritarian. Serta mengambil sistem ekonomi pasar bebas yang paling
jelek, yaitu memberikan keleluasaan sebesar-besarnya kepada pemilik modal,
tanpa perlindungan apapun kepada rakyat kecil.
Sedangkan di pihak lain, tantangan-tantangan baru di tingkat
global bermunculan, seperti adanya GATT (General Agreement on Trade and
tariff), APEC (Asia Pacific Economic Cooperation), AFTA (Asean Free Trade
Agreement) dan NAFTA (North american Free Trade Agreement). Era perdagangan
bebas akan menyusutkan peran pemerintah dalam mengatur kegiatan ekonomi. Sektor
swasta akan menjadi semakin menonjol, dimana perusahaan-perusahaan besar dengan
modal kuat akan memonopoli kegiatan perekonomian dunia. Sedangkan pasal 33
secara “kagok”, kita harus mengkaji posisi negara dalam pengelolaan sumberdaya
alam dalam era perdagangan bebas yang akan melanda dunia. Karena itu mengkaji
secara mendalam dan hati-hati akan makna dan mandat pasal 33 UUD 1945 menjadi
sangat penting agar bangsa ini bisa terus ada dalam kancah pergaulan
internasional tanpa harus meninggalkan jiwa kerakyatan yang terkandung dalam
konstitusinya.
Amandemen pasal 33 ayat 4 ini seakan mengingkari secara
halus ayat 1,2, dan 3-nya diman perekonomian disusun secara prinsip demokrasi.
Jadi siapa saja dapat mengusahakan perekonomian secara bebas alias liberalisasi
perekonomian. hal ini tertuang dalam ayat selanjutnya yaitua ayt 5 diman
ketentuan lebih lanjut diatur UU. UU yang mana? lihat saja UU penanaman modal
dan UU PMA yang kental sekali nuansa liberalnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar